FAKTOR PENYEBAB DAN FAKTA TENTANG GASTRITIS
Gastritis
atau sakit Maag adalah salah satu penyakit yang amat sering dijumpai
dimasyarakat. Tingkat kesadaran masyarakat Indonesia masih sangat rendah
mengenai pentingnya menjaga kesehatan lambung, padahal gastritis atau sakit
maag akan sangat mengganggu aktivitas sehari-hari, baik bagi remaja maupun
orang dewasa. Penyakit gastritis bisa sangat berbahaya bila tidak diperhatikan
sejak dini. Bahaya penyakit gastritis jika dibiarkan terus menerus akan merusak
fungsi lambung dan dapat meningkatkan risiko untuk terkena kanker lambung
hingga menyebabkan kematian. Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa keluhan
sakit pada penyakit gastritis paling banyak ditemui akibat dari gastritis
fungsional, yaitu mencapai 70 - 80% dari seluruh kasus.
Gastritis fungsional
merupakan sakit yang bukan disebabkan oleh gangguan pada organ lambung
melainkan lebih sering dipicu oleh pola makan yang kurang sesuai, faktor psikis
dan kecemasan (Saydam 2011 dalam Rismayanti,dkk 2013). Pehaman yang sangat
minim terkait gejala dan bahaya penyakit membuat kita terlena bahkan mengangap
bahwa penyakit gastritis adalah penyakit yang biasa saja. Gastritis biasanya dianggap sebagai suatu hal
yang remeh namun gastritis merupakan awal dari sebuah penyakit yang dapat
menyusahkan kita.
1.
Pengertian
Gastritis
berasal dari kata gaster yang artinya lambung dan itis yang berarti inflamasi
atau peradangan. Menurut Hirlan, gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan
mukosa dan submukosa lambung, yang berkembang bila mekanisme protektif mukosa
dipenuhi dengan bakteri atau bahan iritan lain. Gastritis
juga adalah penyakit yang paling sering dijumpai diklinik. Secara garis besar
gastritis bias dibagi kedalam tiga tipe yaitu monahopik, atropik dan bentuk
khusus. Selain pembagian tersebut, terdapat satu bentuk kelainan pada gaster
yang digolongkan sebagai gastropati karena secara hispatologic tidak menggambarkan
radang. Infeksi kuman helicobacter pilory
merupakan kausa gastritis yang paling penting (Suparyanto, 2012).
Gastritis
bukanlah penyakit tunggal, tetapi beberapa kondisi yang mengacu pada peradangan
lambung. Biasanya peradangan tersebut merupakan akibat dari infeksi bakteri
yang dapat mengakibatkan borok lambung yaitu helicobacter pylory .
Menurut data dari World Health Organization (WHO), tahun 2001 kejadian gastritis
menempati urutan ke-8 dari 10 penyakit peringkat utama bahkan di
perkirakan di derita lebih dari 1,7 milyar orang di dunia. Prevalensi gastritis yang dikonfirmasi melalui
endoskopi pada populasi di Shanghai sekitar 17,2% yang secara substantial lebih
tinggi daripada populasi di barat yang berkisar 4,1% dan bersifat asimptomatik.
Persentase dari angka kejadian gastritis di Indonesia menurut WHO adalah 40,8%.
Angka kejadian gastritis pada beberapa daerah di Indonesia cukup tinggi dengan
prevalensi 274,396 kasus dari 238,452,952 jiwa penduduk (Depkes, 2009).
2.
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gastritis
1. Pola Makan
Menurut Yayuk Farida Baliwati
(2004), terjadinya gastritis dapat disebabkan oleh pola makan yang tidak baik
dan tidak teratur, yaitu frekuensi makan, jenis, dan Keteraturan makan,
sehingga lambung menjadi sensitif bila asam lambung meningkat.
2.
Frekuensi Makan
Frekuensi
makan adalah jumlah makan dalam sehari-hari baik kualitatif dan
kuantitatif. Secara alamiah makanan diolah dalam tubuh melalui alat-alat
pencernaan mulai dari mulut sampai usus halus. Lama makanan dalam lambung
tergantung sifat dan jenis makanan. Jika rata-rata, umumnya lambung kosong
antara 3-4 jam. Maka jadwal makan ini pun menyesuaikan dengan kosongnya lambung
(Okviani, 2011).
Orang
yang memiliki pola makan tidak teratur mudah terserang penyakit gastritis. Pada
saat perut harus diisi, tapi dibiarkan kosong, atau ditunda pengisiannya, maka
asam lambung akan mencerna lapisan mukosa lambung, sehingga timbul rasa nyeri
(Ester, 2001).
Secara
alami lambung akan terus memproduksi asam lambung setiap waktu dalam jumlah
yang kecil, setelah 4-6 jam sesudah makan biasanya kadar glukosa dalam darah
telah banyak terserap dan terpakai sehingga tubuh akan merasakan lapar dan pada
saat itu jumlah asam lambung terstimulasi. Bila seseorang telat makan sampai
2-3 jam, maka asam lambung yang diproduksi semakin banyak dan berlebih sehingga
dapat mengiritasi mukosa lambung serta menimbulkan rasa nyeri di seitar
epigastrium (Baliwati, 2004).
Kebiasaan makan tidak teratur ini
akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi. Jika hal itu berlangsung lama,
produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa
pada lambung dan menyebabkan timbulnya gastritis.
Hasil penelitian Sulastri, dkk (2012) yaitu frekuensi
makan mempengaruhi penyakit gastritis. Sebesar 75,8% responden dengan frekuensi
makan yang kurang baik mengalami kekambuhan penyakit gastritis (Sulastri dkk,
2012).
Hasil penelitian ini juga didukung oleh Gerhardus
Gunawan (2016) yang menyatakan bahwa responden yang
memikili frekuensi makan kurang baik beresiko 1,31 kali untuk menderita
gastritis dibandingkan dengan responden yang frekuensi makannya baik.
3. Jenis
Makanan
Jenis
makanan adalah variasi bahan makanan yang kalau dimakan, dicerna, dan diserap
akan menghasilkan paling sedikit susunan menu sehat dan seimbang. Menyediakan
variasi makanan bergantung pada orangnya, makanan tertentu dapat menyebabkan gangguan
pencernaan, seperti halnya makanan pedas (Okviani, 2011).
Mengkonsumsi
makanan pedas secara berlebihan akan merangsang sistem pencernaan, terutama
lambung dan usus untuk berkontraksi. Hal ini akan mengakibatkan rasa panas dan
nyeri di ulu hati yang disertai dengan mual dan muntah. Gejala tersebut membuat
penderita makin berkurang nafsu makannya. Bila kebiasaan mengkonsumsi makanan
pedas lebih dari satu kali dalam seminggu selama minimal 6 bulan dibiarkan
terus-menerus dapat menyebabkan iritasi pada lambung yang disebut dengan
gastritis (Okviani, 2011).
Hasil
penelitian (Mawaddah Rahma1, Jumriani Ansari, Rismayanti)
tahun 2012. menunjukkan bahwa jenis makanan merupakan faktor risiko kejadian
gastritis. Risiko kejadian gastritis untuk responden yang sering mengonsumsi
jenis makanan berisiko antara lain jenis makanan yang mengandung soda, makanan
yang pedas, makanan bersantan, dan makanan yang melemahkan klep kerongkongan
bawah, berisiko 2,42 kali menderita gastritis dibandingkan dengan yang tidak
sering mengonsumsi jenis makanan berisiko tersebut.
Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan
oleh Murjayanah (2010) yang mengemukakan bahwa riwayat mengonsumsi makanan yang
merangsang peningkatan asam lambung (OR=4,84) lebih berisiko untuk terkena gastritis.
Hasil
penelitian yang sama juga disampaikan oleh Gerhardus Gunawan (2016) menunjukkan
bahwa jenis makanan merupakan salah satu faktor risiko kejadian gastritis. Responden
yang mengkonsumsi jenis makanan yang beresiko terhadap kejadian gastritis,
beresiko 1.62 kali untuk menderita gastritis,
dibandingkan dengan responden yang tidak mengkonsumsi makanan yang beresiko.
4. Keteraturan makan
Keteraturan makan berkaitan erat dengan waktu makan
setiap hari. Secara alamiah makanan diolah dalam tubuh melalui alat-alat
pencernaan mulai dari mulut sampai usus halus.Jika rata-rata lambung kosong
antara 3-4 jam, maka jadwal makan ini pun menyesuaikan dengan kosongnya lambung
(Okviani, 2011). Makan tidak teratur memicu timbulnya berbagai penyakit karena
terjadi ketidakseimbangan dalam tubuh. Ketidakteraturan ini berhubungan dengan
waktu makan. Biasanya, ia berada dalam kondisi terlalu lapar namun
kadang-kadang terlalu kenyang. Sehingga, kondisi lambung dan pencernaannya
menjadi terganggu (Hidayah, 2012).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keteraturan makan
merupakan faktor risiko kejadian gastritis. Penelitian yang dilakukan oleh
Fitri, dkk (2013) menunjukkan bahwa makan tidak teratur berpengaruh terhadap
penyakit gastritis. Risiko kejadian gastritis untuk responden yang makan tidak
teratur 1,85 kali lebih besar menderita gastritis dibandingkan dengan yang
makan teratur.
Hasil
penelitian yang sama juga disampaikan oleh Gerhardus Gunawan (2016) menunjukkan
bahwa keteraturan makan merupakan salah satu faktor risiko kejadian gastritis. Responden yang makan tidak teratur memiliki beresiko
1.20 kali menderita gastritis dibandingkan responden yang makan teratur
5. Kopi
Menurut
Warianto (2011), kopi adalah minuman yang terdiri dari berbagai jenis bahan dan
senyawa kimia; termasuk lemak, karbohidrat, asam amino, asam nabati yang
disebut dengan fenol, vitamin dan mineral. Kopi diketahui merangsang lambung
untuk memproduksi asam lambung sehingga menciptakan lingkungan yang lebih asam
dan dapat mengiritasi lambung. Ada dua unsur yang bisa mempengaruhi kesehatan
perut dan lapisan lambung, yaitu kafein dan asam chlorogenic.
Studi
yang diterbitkan dalam Gastroenterology menemukan bahwa berbagai faktor seperti
keasaman, kafein atau kandungan mineral lain dalam kopi bisa memicu tingginya
asam lambung. Sehingga tidak ada komponen tunggal yang harus bertanggung jawab
(Anonim, 2011).
Kafein
dapat menimbulkan perangsangan terhadap susunan saraf pusat (otak), sistem
pernapasan, serta sistem pembuluh darah dan jantung. Oleh sebab itu tidak heran
setiap minum kopi dalam jumlah wajar (1-3 cangkir), tubuh kita terasa segar,
bergairah, daya pikir lebih cepat, tidak mudah lelah atau mengantuk. Kafein dapat
menyebabkan stimulasi sistem saraf pusat sehingga dapat meningkatkan aktivitas
lambung dan sekresi hormon gastrin pada lambung dan pepsin. Hormon gastrin yang
dikeluarkan oleh lambung mempunyai efek sekresi getah lambung yang sangat asam
dari bagian fundus lambung. Sekresi asam yang meningkat dapat menyebabkan
iritasi dan inflamasi pada mukosa lambung (Okviani, 2011).
Hasil penelitian Mawaddah Rahma (2012), analisis
variabel kebiasaan meminum kopi dengan kejadian gastritis menunjukkan bahwa,
responden yang mengkomsumsi ≤3 kopi cangkir/hari berisiko 3,36 kali menderita
gastritis dibandingkan dengan yang tidak sering meminum kopi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gerhardus Gunawan
(2016) terkait analisis variabel kebiasaan meminum kopi dengan kejadian
gastritis menunjukkan hasil yang signifikan bahwa Responden yang mengkonsumsi kopi lebih beresiko 1.90
kali menderita gastritis dibandingkan dengan responden yang tidak mengkonsumsi
kopi .
6.
Teh
Hasil penelitian Hiromi Shinya, MD.,
dalam buku “The Miracle of Enzyme”
menemukan bahwa orang-orang Jepang yang meminum teh kaya antioksidan lebih dari
dua gelas secara teratur, sering menderita penyakit yang disebut gastritis.
Sebagai contoh Teh Hijau, yang mengandung banyak antioksidan dapat membunuh
bakteri dan memiliki efek antioksidan berjenis polifenol yang mencegah atau
menetralisasi efek radikal bebas yang merusak. Namun, jika beberapa antioksidan
bersatu akan membentuk suatu zat yang disebut tannin. Tannin inilah yang
menyebabkan beberapa buah dan tumbuh-tumbuhan memiliki rasa sepat dan mudah
teroksidasi (Shinya, 2008).
Tannin merupakan suatu senyawa kimia
yang memiliki afinitas tinggi terhadap protein pada mukosa dan sel epitel
mukosa (selaput lendir yang melapisi lambung). Akibatnya terjadi proses dimana
membran mukosa akan mengikat lebih kuat dan menjadi kurang permeabel. Proses
tersebut menyebabkan peningkatan proteksi mukosa terhadap mikroorganisme dan
zat kimia iritan. Dosis tinggi tannin menyebabkan efek tersebut berlebih
sehingga dapat mengakibatkan iritasi pada membran mukosa usus (Shinya, 2008). Selain
itu apabila Tannin terkena air panas atau udara dapat dengan mudah berubah
menjadi asam tanat. Asam tanat ini juga berfungsi membekukan protein mukosa
lambung. Asam tanat akan mengiritasi mukosa lambung perlahan-lahan sehingga
sel-sel mukosa lambung menjadi atrofi. Hal inilah yang menyebabkan orang
tersebut menderita berbagai masalah lambung, salah
satunya adalah gastritis (Shinya, 2008).
7.
Rokok
Rokok
adalah silinder kertas yang berisi daun tembakau cacah. Dalam sebatang rokok,
terkandung berbagai zat-zat kimia berbahaya yang berperan seperti racun. Dalam
asap rokok yang disulut, terdapat kandungan zat-zat kimia berbahaya seperti gas
karbon monoksida, nitrogen oksida, amonia, benzene, methanol, perylene,
hidrogen sianida, akrolein, asetilen, bensaldehid, arsen, benzopyrene,
urethane, coumarine, ortocresol, nitrosamin, nikotin, tar, dan lain-lain.
Selain nikotin, peningkatan paparan hidrokarbon, oksigen radikal, dan substansi
racun lainnya turut bertanggung jawab pada berbagai dampak rokok terhadap
kesehatan (Budiyanto, 2010).
Efek
rokok pada saluran gastrointdstinal antara lain melemahkan katup esofagus dan
pilorus, meningkatkan refluks, mengubah kondisi alami dalam lambung, menghambat
sekresi bikarbonat pankreas, mempercepat pengosongan cairan lambung, dan
menurunkan pH duodenum. Sekresi asam lambung meningkat sebagai respon atas
sekresi gastrin atau asetilkolin. Selain itu, rokok juga mempengaruhi kemampuan
cimetidine (obat penghambat asam lambung) dan obat-obatan lainnya dalam
menurunkan asam lambung pada malam hari, dimana hal tersebut memegang peranan
penting dalam proses timbulnya peradangan pada mukosa lambung. Rokok dapat
mengganggu faktor defensif lambung (menurunkan sekresi bikarbonat dan aliran
darah di mukosa), memperburuk peradangan, dan berkaitan erat dengan komplikasi
tambahan karena infeksi helicobacter
pylori.
Hasil
penelitian Mawaddah Rahmat (2012)
tentang analisis variabel merokok dengan kejadian gastritis menunjukkan bahwa responden
yang merokok ≥ 10 batang per hari
berisiko 3,69 kali menderita gastritis dibandingkan dengan merokok < 10
batang per hari. Hasil
penelitian Gerhardus Gunawan (2016) tentang analisis variabel merokok
dengan kejadian gastritis menunjukkan bahwa responden yang 0.64 kali menderita gastritis, dibandingkan dengan
responden yang tidak merokok.
8. AINS ( Anti Inflamasi Non Steroid)
Obat-obatan
yang sering dihubungkan dengan gastritis erosif adalah aspirin dan sebagian
besar obat anti inflamasi non steroid (Suyono, 2001). Asam asetil salisilat
lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin. Asam asetil salisilat merupakan
obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) turunan asam karboksilat derivat asam
salisilat yang dapat dipakai secara sistemik.
Obat AINS adalah salah satu golongan obat besar yang secara kimia
heterogen menghambat aktivitas siklooksigenase, menyebabkan penurunan sintesis
prostaglandin dan prekursor tromboksan dari asam arakhidonat.Siklooksigenas emerupakan
enzim yang penting untuk pembentukkan prostaglandin dari asam arakhidonat.
Prostaglandin mukosa merupakan salah satu faktor defensive mukosa lambung yang
amat penting, selain menghambat produksi prostaglandin mukosa, aspirin dan obat
antiinflamasi nonsteriod tertentu dapat merusak mukosa secara topikal,
kerusakan topikal terjadi karena kandungan asam dalam obat tersebut bersifat
korosif sehingga dapat merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin dan
obat antiinflamasi nonsteroid juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan
mukus oleh lambung, sehingga kemampuan faktor defensif terganggu. Jika
pemakaian obat-obat tersebut hanya sesekali maka kemungkinan terjadinya masalah
lambung akan kecil. Tapi jika pemakaiannya dilakukan secara terus menerus atau
berlebihan selama minimal 3 bulan dapat menyebabkan gastritis (Rosniyanti,
2010).
Berdasarkan penelitian
Mawaddah Rahma (2012), hasil
analisis variabel penggunaan obat anti inflamasi non steroid dengan kejadian
gastritis menunjukkan bahwa responden pengguna obat anti inflamasi non steroid dengan waktu
yang lama berisiko 2,72 kali menderita gastritis dibandingkan dengan yang tidak
pernah menggunakan obat anti inflamasi non steroid.
9. Stress
Stress
merupakan reaksi fisik, mental, dan kimia dari tubuh terhadap situasi yang
menakutkan, mengejutkan, membingungkan, membahayakan dan merisaukan seseorang.
Definisi lain dari stress adalah ketidakmampuan mengatasi ancaman
yang dihadapi mental, fisik, emosional, dan spiritual manusia, yang pada suatu
saat dapat mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut (Potter, 2005).
a.
Stress
Psikis
Produksi
asam lambung akan meningkat pada keadaan stress, misalnya pada beban kerja
berat, panik dan tergesa-gesa. Kadar asam lambung yang meningkat dapat
mengiritasi mukosa lambung dan jika hal ini dibiarkan, lama-kelamaan dapat
menyebabkan terjadinya gastritis.
b.
Stress
Fisik
Stress fisik akibat pembedahan
besar, luka trauma, luka bakar, refluks empedu atau infeksi berat dapat
menyebabkan gastritis dan juga ulkus serta pendarahan pada lambung. Perawatan
terhadap kanker seperti kemoterapi dan radiasi dapat mengakibatkan peradangan
pada dinding lambung yang selanjutnya dapat berkembang menjadi gastritis dan
ulkus peptik. Ketika tubuh terkena sejumlah kecil radiasi, kerusakan yang
terjadi biasanya sementara, tapi dalam dosis besar akan mengakibatkan kerusakan
tersebut menjadi permanen dan dapat mengikis dinding lambung serta merusak
kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung (Anonim, 2010).
Hasil penelitian Hanik Murjayanah (2011) tentang
faktor resiko kejadian gastritis (studi di RSU.dr.R.Soetrasno Rembang), Hasil
analisa bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
riwayat adanya stress psikis dengan kejadian gastritis. Responden yang memiliki riwayat adanya stress
psikis, berrisiko 3,2 kali untuk terkena gastritis dibandingkan dedngan
responden yang tidak memiliki riwayat adanya stress psikis.
10. Alkohol
Alkohol sangat berperangaruh
terhadap makhluk hidup, terutama dengan kemampuannya sebagai pelarut lipida.
Kemampuannya melarutkan lipida yang terdapat dalam membran sel memungkinkannya
cepat masuk ke dalam sel-sel dan menghancurkan struktur sel tersebut. Oleh
karena itu alkohol dianggap toksik atau racun. Alkohol yang terdapat dalam
minuman seperti bir, anggur, dan minuman keras lainnya terdapat dalam bentuk
etil alkohol atau etanol (Almatsier, 2002).
Organ tubuh yang berperan besar
dalam metabolisme alkohol adalah lambung dan hati, oleh karena itu efek dari
kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jangka panjang tidak hanya berupa
kerusakan hati atau sirosis, tetapi juga kerusakan lambung. Dalam jumlah
sedikit, alkohol merangsang produksi asam lambung berlebih, nafsu makan
berkurang, dan mual, sedangkan dalam jumlah banyak, alkohol dapat mengiritasi
mukosa lambung atau gastritis (Beyer 2004).
Berdasarkan penelitian
(Mawaddah Rahma1, Jumriani Ansar1, Rismayanti) tahun 2012 pada hasil analisis
variabel konsumsi alkohol dengan kejadian gastritis menunjukkan bahwa responden
yang mengkonsumsi minuman beralkohol berisiko 1,86 kali menderitaw gastritis
dibandingkan dengan yang tidak mengonsumsi minuman beralkohol. Penelitian ini
juga diperkuat oleh penelitian Gerhardus Gunawan (2016) pada hasil analisis
variabel konsumsi alkohol dengan kejadian gastritis menunjukkan bahwa orang yang mengkonsumsi alkohol beresiko 4,1 kali terkena gastritis
dibandingkan dengan orang dengan orang yang tidak mengkonsumsi alkohol.
11. Helicobacter
pylori
Helicobacter
pylori
adalah kuman Gram negatif, basil yang berbentuk kurva dan batang. helicobacter pylori adalah suatu bakteri
yang menyebabkan peradangan lapisan lambung yang kronis (gastritis) pada
manusia. Sebagian besar populasi di dunia terinfeksi oleh bakteri helicobacter pylori yang hidup di bagian
dalam lapisan mukosa yang melapisi dinding lambung. Walaupun tidak sepenuhnya
dimengerti bagaimana bakteri tersebut dapat ditularkan, namun diperkirakan
penularan tersebut terjadi melalui jalur oral atau akibat memakan makanan atau
minuman yang terkontaminasi oleh bakteri ini. Infeksi helicobacter pylori sering terjadi pada masa kanak-kanak dan dapat
bertahan seumur hidup jika tidak dilakukan perawatan. Infeksi helicobacter pylori ini sekarang
diketahui sebagai penyebab utama terjadinya ulkus peptikum dan penyebab
tersering terjadinya gastritis (Prince, 2005).
12. Jenis Kelamin
Variabel
jenis kelamin berpengaruh terhadap kejadian gastritis. Tidak ada hal yang
mendasar dalam variabel ini, tetapi ini sangat berkaitan dengan perbedaan gaya
hidup dalam hubungan dengan diet. Diet sering kali dilakukan untuk menjaga berat
badan agar tetap normal tidak berberat badan lebih ataupun obeositas. Namun
demikian banyak sekali yang melakukan diet dengan cara yang salah. Ada yang
tidak mengkonsumsi makanan sedikipun dalam waktu sehari. Hal-hal seperti inilah
yang memicu terjadinya kejadian penyakit lain, salah satunya gastritis.
Hasil
penelitian Hanik Murjayanah (2011) tentang faktor risiko kejadian gastritis
(studi di RSU.dr.R.Soetrasno Rembang) menunjukkan bahwa responden dengan jenis
kelamin perempuan memiliki risiko 3,05 kali untuk terkena gastritis
dibandingkan dengan responden berjenis kelamin laki-laki.
Hasil penelitian Gerhardus Gunawan (2016) menunjukkan bahwa
responden yang berjenis kelamin
perempuan, beresiko 1.01 kali menderita gastritis, dibandingkan dengan responden
yang berjenis kelamin laki-laki.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan
berisiko terkena gastritis. Hal ini disebabkan
karena perempuan takut gemuk sehingga sering diet terlalu ketat. (Ronald, 1996 )
13. Usia
Usia tua memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita
gastritis dibandingkan dengan usia muda. Hal ini menunjukkan bahwa seiring
dengan bertambahnya usia mukosa gaster cenderung menjadi tipis sehingga lebih
cenderung memiliki infeksi helicobacter Pylory atau gangguan autoimun
daripada orang yang lebih muda. Sebaliknya jika mengenai usia muda biasanya
lebih berhubungan dengan pola hidup yang tidak sehat.
Kejadian
gastritis kronik, terutama gastritis kronik antrum meningkat sesuai dengan
peningkatan usia. Di negara barat, populasi yang usianya pada dekade ke-6
hampir 80% menderita gastritis kronik dan menjadi 100% pada saat usia mencapai
dekade ke-7. Selain mikroba dan proses imunologis, faktor lain juga berpengaruh
terhadap patogenesis gastritis adalah refluks kronik cairan penereatotilien,
empedu dan lisolesit (Suyono,
2001).
Hasil penelitian Murjayanah (2011) tentang faktor
risiko kejadian gastritis menunjukkan bahwa responden bahwa umur > 40 tahun
mempunyai risiko untuk terkena gastritis 17,33 kali di bandingkan dengan
responden yang umurnya ≤ 40 tahun.
Hasil penelitian Gerhardus Gunawan (2016) tentang faktor risiko kejadian
gastritis menunjukkan bahwa Responden
yang memiliki usia > 40 tahun, beresiko 2.04 kali menderita gastritis
dibandingkan dengan responden yang berusia ≤ 40 tahun.
😄 sy ngopi mulu, roko jg, alkohol NO sih
BalasHapus